Kelompok 13 – 1EB11
·
Dewi Tri Astuti (21216909)
·
Endah Dahlia (2B215195)
·
Puspa Handini (2B215167)
Produk
Domestik Bruto Indonesia
Antara tahun 1965
sampai 1997 perekonomian Indonesia tumbuh dengan persentase rata-rata per
tahunnya hampir tujuh persen. Pencapaian ini memampukan perekonomian Indonesia
bertumbuh dari peringkat ‘negara berpendapatan rendah’ menjadi ‘negara
berpendapatan menengah ke bawah’. Kendati begitu, Krisis Finansial Asia yang
meletus pada akhir tahun 1990-an mengakibatkan dampak sangat negatif untuk
perekonomian Indonesia, menyebabkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar
13,6% pada tahun 1998 dan pertumbuhan yang terbatas pada 0,3% di 1999.
Antara periode
2000-2004, pemulihan ekonomi terjadi dengan rata-rata pertumbuhan PDB pada 4,6%
per tahun. Setelah itu, pertumbuhan PDB berakselerasi (dengan pengecualian pada
tahun 2009 waktu, akibat guncangan dan ketidakjelasan finansial global,
pertumbuhan PDB Indonesia jatuh menjadi 4,6%, sebuah angka yang masih
mengagumkan) dan memuncak pada 6,5% di 2011. Kendati begitu, setelah 2011
ekspansi perekonomian Indonesia mulai sangat melambat. Di antara tahun 2011 dan
2015 pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat dengan cukup tajam (yang dijelaskan
dengan lebih banyak detail di bawah).
Bagian ini
mendiskusikan performa perekonomian Indonesia, negara dengan perekonomian
terbesar di Asia Tengagra, sejak akhir 2000-an dan menyorot dengan lebih
spesifik pada perlambatan perekonomian yang terjadi sejak 2011. Untuk analisisi
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Pemerintahan Orde Baru atau analisis sebab
dan akibat Krisis Finansial Asia, klik tautan-tautan di atas.
The base year for
computing the economic growth rate shifted from 2000 to 2010 in 2014, previous
years have been recalculated
Sumber: Bank Dunia
Tampak
dalam tabel di atas bahwa penurunan perekonomian global yang disebabkan oleh
krisis finansial global di akhir 2000-an memiliki dampak yang relatif kecil
pada perekonomian Indonesia dibandingkan dengan dampak yang dialami
negara-negara lain. Pada tahun 2009, pertumbuhan PDB Indonesia turun menjadi
4,6%, yang berarti bahwa performa pertumbuhan PDB negara ini merupakan salah
satu yang terbaik di seluruh dunia (dan memiliki peringkat tertinggi ketiga di
antara negara-negara dengan perekonomian besar yang tergabung di dalam grup
G-20).
Meskipun
terjadi penurunan tajam harga-harga komoditi, turunnya pasar saham, yield
obligasi domestik dan internasional yang lebih tinggi, dan melemahnya nilai
tukar rupiah, perekonomian Indonesia masih dapat tumbuh dengan layak.
Kesuksesan ini terutama disebabkan oleh pengaruh ekspor Indonesia yang relatif
terbatas terhadap perekonomian nasional, terjaganya kepercayaan pasar yang
tinggi, dan berlanjutnya konsumsi domestik yang subur. Konsumsi domestik di
Indonesia (terutama konsumsi pribadi) berkontribusi untuk sekitar 55% dari
total pertumbuhan ekonomi negara ini.
Pada tahun 2010, Bank Dunia melaporkan bahwa karena
suburnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, setiap tahunnya sekitar 7 juta penduduk
Indonesia masuk dalam kelas menengah negara ini. Di 2012, jumlah penduduk kelas
menengah Indonesia mencapai sekitar 75 juta orang (dari total jumlah penduduk
Indonesia sebesar 240 juta orang) dan perusahaan penelitian seperti Boston
Consulting Group (BCG) dan McKinsey menyatakan bahwa kelompok kelas menengah
ini akan bertambah kira-kira dua kali lipat pada tahun 2020-2030. Meskipun
pertumbuhan penduduk kelas menengah telah berkurang karena perlambatan
perekonomian negara ini yang terjadi di antara tahun 2011-2015, Indonesia
memiliki kekuatan konsumen yang mendorong perekonomian dan telah secara
signifikan memicu pertumbuhan investasi domestik dan asing sejak 2010.
Kendati begitu, setelah memuncak di 2011,
pertumbuhan PDB Indonesia mulai melambat. Ada beberapa faktor yang menjelaskan
perlambatan ekonomi ini:
•
Pertumbuhan Ekonomi Global yang Lambat: Fokus pada Republik Rakyat Tiongkok
(RRT)
Setelah mengalami
rebound dari resesi global yang besar (2007-2009), laju pertumbuhan ekonomi di
seluruh dunia menurun pada periode 2010-2014. Yang paling menyebabkan
kekuatiran adalah semakin menurunnya laju pertumbuhan perekonomian RRT. Negara
dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini bertumbuh 6,9% pada basis
year-on-year (y/y) di 2015, level terendah dalam 25 tahun terakhir. Menurunnya
ekspansi perekonomian di RRT segera memberikan dampak pada Indonesia karena
kedua negara adalah mitra dagang yang penting (RRT berkontribusi untuk hampir
sepersepuluh dari total ekspor Indonesia). Diperkirakan bahwa untuk setiap
penurunan 1% dari pertumbuhan PDB RRT, ekspansi perekonomian Indonesia akan
berkurang 0,5%.
•
Menurunnya Harga-Harga Komoditi
Perlambatan ekonomi
global baru-baru ini (dan terutama perlambatan ekonomi RRT) menyebabkan
penurunan harga-harga komoditi ke level yang rendah selama bertahun-tahun.
Sebagai negara eksportir komoditi yang besar (dan kekurangan industri hilir
yang berkembang baik), performa ekspor Indonesia sangat terpengaruh saat harga
komoditi (seperti batubara dan minyak sawit mentah) rendah. Rendahnya harga
komoditi-komiditi tidak hanya disebabkan oleh permintaan global yang lebih
lemah namun juga karena kelebihan suplai. Pada masa boom komoditi di tahun
2000-an dan setelah resesi besar yang terjadi di ahir 2000-an (ketika
institusi-institusi seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund
menerbitkan proyeksi pertumbuhan global yang terlalu optimis) banyak perusahaan
memasuki sektor komoditi - atau perusahaan-perusahaan komoditi yang telah ada
berinvestasi untuk meningkatkan kapasitas produksi - dan menyebabkan timbunan
suplai sehingga menekan turun harga komoditi.
Bloomberg Commodities Index:
Namun, pada tahun 2016 harga komoditas
berhasil menjadi stabil, bahkan sebuah rebound kecil terjadi dipimpin oleh
harga minyak mentah yang lebih tinggi.
•
Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia yang Tinggi
Tingkat suku bunga
yang tinggi membatasi pertumbuhan kredit dan karenanya mengurangi pertumbuhan
ekonomi. Sejak pertengahan tahun 2013, bank sentral Indonesia (Bank Indonesia)
meningkatkan suku bunga acuannya (BI rate) dari level terendah dalam sejarah pada
5,75% kemudian secara bertahap, namun agresif, naik menjadi 7,75% di akhir
2014. Bank Indonesia mengetatkan kebijakan moneternya dalam rangka melawan
inflasi yang tinggi (yang meningkat tajam setelah beberapa reformasi subsidi
bahan bakar), mengurangi defisit transaksi berjalan yang lebar, dan mendukung
rupiah yang telah dibebani oleh tekanan-tekanan berat karena pengetatan moneter
di Amerika Serikat (maka Bank Indonesia lebih memilih stabilitas finansial
dibandingkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi). Capital outflows
besar-besaran dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, terjadi di
sebagian besar waktu di tahun 2013 karena ancaman penurunan program pembelian
obligasi senilai 85 miliar dollar Amerika Serikat (AS) setiap bulannya
(quantitative easing AS). Pada tahun 2015, capital outflows dari negara-negara
berkembang muncul kembali karena dunia sedang bersiap-siap untuk suku bunga AS
yang lebih tinggi.
Pada bulan Desember 2015 Bank Sentral Amerika
Serikat (Federal Reserve) menaikkan suku bunganya untuk pertama kalinya dalam
satu dekade (diikuti oleh kenaikan suku bunga lagi pada bulan Desember 2016).
Namun, karena inflasi Indonesia dan defisit transaksi berjalan turun ke tingkat
yang aman, sedangkan rupiah stabil terhadap dolar AS mulai dari akhir-2015,
Bank Indonesia akhirnya bisa melonggarkan kebijakan moneternya. Sepanjang 2016
Bank sentral Indonesia mampu menurunkan suku bunga secara drastis dari level
7,75 persen pada awal 2016 menjadi 4,75 persen pada akhir 2016 (ini juga
termasuk perubahan dari BI rate ke BI 7-day Reverse Repo Rate sebagai alat
benchmark bank sentral), maka memungkinkan aktivitas ekonomi yang lebih cepat.
•
Perpolitikan di Indonesia
Tahun 2014 adalah
‘tahun politik’ untuk Indonesia karena negara ini mengorganisir pemilihan-pemilihan
legislatif dan presiden. Pemilihan-pemilihan ini pada dasarnya adalah
pertarungan antara Joko Widodo yang didukung PDI-P (calon favorit pasar karena
berpola pikir pembaharuan) dan Prabowo Subianto yang didukung Gerindra (mantan
jenderal angkatan bersenjata yang kontroversial dan juga mantan menantu
Suharto). Meskipun pemilihan-pemilihan ini diprediksi akan memberikan
kemenangan yang mudah untuk Widodo, hal ini ternyata berubah menjadi
pertarungan sengit (dan bahkan membutuhkan keputusan Mahkamah Konstitusi untuk
mengkonfirmasi hasil dari Pemilihan Presiden). Selama sekitar lima bulan tahun
2014 dilanda oleh ketidakjelasan politik (karena pemilihan-pemilihan ini) dan
mengakibatkan perlambatan realisasi investasi, dan karenanya mengurangi ekspansi
perekonomian negara ini.
Sejalan dengan UU Pertambangan 2009, Indonesia
mengimplementasikan larangan ekspor biji-biji mineral pada Januari 2014.
Meskipun larangan ini tidak segera dilaksanakan sepenuhnya (beberapa penambang
bisa melanjutkan ekspor biji-biji mineral bila mereka berkomitmen untuk
mendirikan fasilitas-fasilitas smelter domestik) dan walau tujuan kebijakan
baru ini baik (mengurangi ketergantungan negara ini pada harga-harga komoditi
yang sangat tidak stabil), hal ini juga menyebabkan pengurangan performa
ekspor.
Isu politik lain yang menghambat ekspansi
perekonomian Indonesia adalah belanja Pemerintah yang lambat. Karena halangan
pita merah (birokrasi berlebihan) dan koordinasi yang lemah antar institusi
pemerintahan (baik di level pusat maupun regional), belanja Pemerintah tetap
kurang sempurna. Karena perlambatan global, para analis memiliki
harapan-harapan yang tinggi terhadap pembangunan infrastruktur oleh Pemerintah
untuk mendongkrak daya saing negara ini, pasar pekerjaan dan pertumbuhan
ekonomi. Meskipun begitu, tumpukan besar dari dana yang dialokasikan tetap
belum digunakan.
Sumber: BPS
Proyeksi Masa Depan untuk Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia
Proyeksi masa depan untuk pertumbuhan ekonomi
Indonesia masih positif tetapi telah direvisi ke bawah oleh semua organisasi
internasional serta pemerintah Indonesia karena ketidakpastian global yang
berkepanjangan. Tetapi rencana pemerintah Indonesia tetap bertujuan untuk
menempatkan Indonesia dalam sepuluh ekonomi global terbesar pada tahun 2025.
Strategi kunci untuk mencapai target ini adalah fokus pada investasi di bidang
infrastruktur dan industri manufaktur. Oleh karena itu, pemerintahan Joko
Widodo telah meluncurkan serangkaian paket kebijakan ekonomi sejak September
2015. Paket-paket ini bertujuan meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia
melalui deregulasi, insentif fiskal, dan perkuatan daya beli.
Pada tahun 2016 pertumbuhan ekonomi Indonesia
mengalami rebound yang sederhana (setelah perlambatan ekonomi di antara tahun
2011-2015) tetapi akan memakan waktu beberapa tahun untuk mencapai tingkat
pertumbuhan yang telah dijanjikan oleh Widodo selama kampanye presiden tahun
2014 (ia menargetkan, setidaknya, pertumbuhan 7 persen pada 2019).
Institusi-institusi berwenang internasional
(Bank Dunia, IMF dan Asian Development Bank) menekankan bahwa reformasi politik
dan ekonomi yang cukup dikombinasikan dengan investasi-investasi yang besar
dalam infrastruktur adalah bumbu-bumbu penting untuk mendongkrak pertumbuhan.
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
(perubahan % per tahun):
Lembaga 2016 2017
Pemerintah Indonesia 5.0 5.1
Bank Dunia 5.1 5.3
International Monetary Fund (IMF) 4.9 5.3
Asian Development Bank (ADB) 5.0 5.1
PDB per
kapita Indonesia dan Distribusi Pendapatan yang Tidak Setara
PDB per kapita
Indonesia telah naik tajam selama satu dekade terakhir (walau sempat kena
perlambatan pertumbuhan di antara 2011 dan 2015). Meskipun begitu, bisa
dipertanyakan apakah PDB per kapita adalah alat ukur yang layak untuk Indonesia
karena penduduk Indonesia memiliki karekteristik ketidaksetaraan yang tinggi
dalam distribusi pendapatan. Dengan kata lain, ada kesenjangan antara statistik
dan kenyataan karena kekayaan 43.000 orang terkaya di Indonesia (yang mewakili
hanya 0,02% dari total penduduk Indonesia) setara dengan 25% PDB Indonesia.
Kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia setara dengan 10,3% PDB (yang merupakan
jumlah yang sama dengan kombinasi harta milik 60 juta orang termiskin di
Indonesia). Angka-angka ini mengindikasikan konsentrasi kekayaan yang besar
untuk kelompok elit yang kecil. Terlebih lagi, kesenjangan distribusi
pendapatan ini diperkirakan akan meningkat di masa mendatang.
PDB per kapita Indonesia telah meningkat
secara stabil pada tahun 2000-an dan setelahnya. Pada awalnya, Bank Dunia
memproyeksikan Indonesia akan mencapai batasan 3.000 dollar AS pada tahun 2020
namun negara ini telah mencapai level ini satu dekade lebih awal. Mencapai
level PDB per kapita sebesar 3.000 dollar AS dianggap sebagai langkah yang
penting sebab hal ini seharusnya menyebabkan percepatan pengembangan di
sejumlah sektor (seperti retail, otomotif, properti) karena permintaan konsumen
yang meningkat, dan karenanya menjadi katalis pertumbuhan ekonomi.
Komposisi PDB Indonesia: Pertanian, Industri dan Jasa
Tabel
di bawah ini menunjukkan perkembangan luar biasa komposisi PDB Indonesia. Indonesia
berubah dari negara yang perekonomiannya sangat bergantung pada pertanian
menjadi negara yang perekonomiannya lebih seimbang, di mana sektor manufaktur
(sejenis industri) kini lebih dominan daripada sektor pertanian. Hal ini juga
menyiratkan bahwa Indonesia mengurangi ketergantungan tradisionalnya pada
sektor ekspor primer. Kendati begitu, perlu dicatat bahwa semua sektor utama
ini mengalamai ekspansi selama periode yang disebutkan.
Diasumsikan
bahwa sektor industri akan memperkuat bagiannya dalam PDB dengan mengurangi
bagian sektor agrikultur dan jasa karena manufaktur saat ini adalah sektor
paling populer di Indonesia dalam konteks investasi asing langsung. Terlebih
lagi, untuk industri-industri inovatif tertentu, Pemerintah Indonesia
memberikan insentif-insentif pajak, sementara industri-industri pengolahan
hilir telah dikembangkan di sektor pertambangan melalui UU Pertambangan 2009.
Salah
satu karakteristik yang menonjol dari Indonesia adalah bahwa bagian barat
negara ini memiliki kontribusi pertumbuhan PDB yang secara signifikan lebih
besar. Jawa (terutama area Jabodetabek) dan Sumatra, bersama-sama,
berkontribusi untuk lebih dari 80% total PDB Indonesia. Alasan utama untuk
situasi ini adalah bagian barat Indonesia berlokasi dekat dengan Singapura dan
Malaysia. Ketiga negara ini dalam perjalanan sejarah telah berfungsi sebagai
pusat aktivitas ekonomi di Asia Tenggara. Sementara itu, bagian Timur
Indonesia, terletak dalam jalur perekonomian yang lebih sepi dan berpenduduk
jauh lebih sedikit.
PDB Indonesia
dalam Perspektif Global
Tabel di bawah ini
menunjukkan PDB Indonesia per kapita dan PDB riil dan membandingkannya dengan
dua kekuatan ekonomi penting dunia: Amerika Serikat (AS) dan Cina.
Mengamati
PDB per kapita segera tampak bahwa Indonesia masih memiliki perjalanan panjang
ke depan dibandingkan dengan negara-negara yang lebih berkembang. Bahkan,
Indonesia memiliki salah satu PDB per kapita terendah dibandingkan negara mana
pun di dunia. Melalui sejumlah rencana pembangunan Pemerintah, Pemerintah
Indonesia bertujuan untuk meningkatkan angka ini menjadi sekitar 14.250-15.500
dollar AS pada tahun 2025. Namun, tetap diragukan apakah target ambisius ini
akan dapat direalisasikan, apalagi - seperti yang disebutkan di atas -
indikator ini tidak merefleksikan distribusi (setara) dari pendapatan atau
kekayaan dalam masyarakat Indonesia. Dibutuhkan kebijakan Pemerintah yang
efektif untuk menyediakan lebih banyak pendidikan untuk anak-anak Indonesia dan
lebih banyak kesempatan kerja untuk orang-orang dewasa Indonesia.
Di
beberapa tahun terakhir, aset-aset negara berkembang menjadi kesayangan para
investor (karena dollar AS murah dan aset-aset negara berkembang memiliki yield
yang lebih tinggi). Negara-negara berkembang memiliki potensi yang besar karena
adanya sumberdaya alam yang berlimpah, populasi yang besar dan cepat
berkembang, biaya tenaga kerja dan produksi yang murah dan, terakhir, kondisi
politik yang relatif stabil. Kendati begitu, mulai dari semester kedua tahun
2015, proyeksi-proyeksi untuk pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang
telah berubah menjadi agak suram karena dampak dari perlambatan pertumbuhan
ekonomi di RRT, rendahnya harga-harga komoditi, dan nilai tukar mata uang
negar-negara berkembang yang sangat melemah karena ancaman pengetatan moneter
di AS.
Juga menarik untuk
menganalisis sampai tingkatan mana beberapa ciri kebudayaan-kebudayaan
Indonesia (misalnya budaya dominan Jawa) membatasi pertumbuhan PDB
(dibandingkan dengan pengaruh dari, contohnya, kebudayaan Tiongkok terhadap
pertumbuhan PDB RRT). Untuk informasi lebih lanjut dari topik ini, silahkan
mengunjungi bagian Budaya Bisnis Indonesia kami.
SUMBER :
No comments:
Post a Comment