jam

Tuesday 28 March 2017

MASALAH PT. FREEPORT INDONESIA

Kelompok 13 – 1EB11
Dewi Tri Astuti (21216909)
Endah Dahlia (2B215195)
Puspa Handini (2B215167)


MASALAH PT. FREEPORT INDONESIA

     PT Freeport adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. (salah satu produsen terbesar emas dunia. Perusahaan Amerika ini memiliki beberapa anak perusahaan termasuk PT Freeport Indonesia, PT Irja Eastern Minerals, dan Atlantic Copper, S.A.). Perusahaan Amerika Freeport Sulphur yang bermarkas di New Orleans adalah perusahaan asing pertama yang memperoleh ijin usaha dari pemerintah Indonesia pada tahun 1967, setelah kejatuhan Presiden Soekarno oleh Soeharto. Keistimewaan luar biasa yang diberikan PT Freeport ini, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari tekanan Amerika. Tekanan asing dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat ketika itu karena “jasa besar” yang telah membantu presiden Soeharto dalam menumpas kasus G30S/PKI. Utang budi inilah yang dijadikan “senjata” oleh pemerintah Amerika Serikat untuk menekan Indonesia sehingga mau menerima permohonan kontrak kerja yang amat merugikan Indonesia.

     Sejauh ini, PT Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (1967 s.d. 1988) dan tambang Grasberg (1988-sekarang), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika. Lahan eksplorasi yang diserahkan oleh pemerintah Indonesia ke PT Freeport mencangkup areal yang sangat luas,  tetapi kita tidak punya data yang akurat tentang berapa besar produk tambang yang dihasilkan dari tambang Ertsberg. Dalam kesepakatan awal PT Freeport hanya akan memproduksi tembaga dan ini adalah dasar mengapa lokasi penambangan dinamakan Tembagapura .

    Pada kenyataannya tambang Ertsberg tidak hanya memproduksi tembaga tetapi juga menghasilkan emas.
Emas yang awalnya dinilai sebagai by product belakangan ini malah menjadi produk utama dari PT Freeport. Hal ini konon disebabkan semakin tingginya konsentrat emas dan perak yang ditemukan didalam bahan galian. Kita tidak terlalu yakin bahwa emas yang dihasilkan adalah by product sebab saat itu tidak ada orang Indonesia baik dari Papua maupun luar wilayah Papua yang mengikuti proses pemurnian konsentrat. Apalagi, pada periode awal pemurnian konsentrat ini dilakukan di luar Indonesia yaitu di negara Jepang dan Amerika. Dengan demikian, bisa saja sejak awal PT Freeport telah menghasilkan emas dan perak tetapi hal ini disembunyikan dan tidak dipublikasikan.

  Sudah hampir 45 tahun aktivitas pertambangan emas di PT Freeport-Mc Moran Indonesia di tanah Papua. Namun selama itu juga kedaulatan negara kita khususnya di daerah Papua terus diinjak-injak oleh perusahan asing tersebut. Pada Kontrak Karya (KK) pertama di Indonesia pertama pertambangan antara pemerintah dengan PT Freeport yang dilakukan pada tahun 1967 untuk jangka waktu 30 tahun memang posisi tawar atau posisi pihak  pemerintah RI dalam Kontrak Karya masih sangat kecil, yaitu hanya sebagai pemilik lahan. Dibandingkan PT Freeport yang memiliki tenaga kerja dan modal tentu posisi tawar pemerintah saat itu masih kecil.

      Dari sini terlihat bahwa kasus Freeport ini tidak hanya merugikan negara triliunan rupiah akan tetapi juga menginjak-injak kedaulatan Republik Indonesia. Menurut seorang pengamat Hankam, Bapak Soeripto, Konflik yang mendasasari kasus Freeport ini adalah Kontrak Karya (KK) yang telah melecehkan Indonesia. Akan tetapi keuntungan yang sangat besar terus diraih oleh PT Freeport hingga Kontrak Karya yang pertama dapat diperpanjang menjadi Kontrak Karya kedua yang tidak di renegoisasi secara optimal sehingga Indonesia lagi-lagi tidak mendapatkan manfaat dari keuntungan besar yang PT Freeport raih padahal seharusnya Kontrak Karya kedua dapat memberikan manfaat karena ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg.

     Selain itu, PT Freeport sering dikabarkan melakukan penganiayaan terhadap para penduduk setempat, pada tahun 2003 PT Freeport mengaku telah membayar TNI agar mampu mengusir penduduk setempat dari wilayah Papua. Menurut laporan New York Times pada Desember 2005 biaya yang dikeluarkan dari tahun 1998 sampai dengan 2004 mencapai 20 juta dolar AS. Hal ini tentu membuat putra Papua merasa diasingkan dari daerahnya sendiri  dan aparat keamanan di negara Indonesia kesannya lebih mementingkan perusahaan asing tersebut. Yang makin membuat rakyat Papua geram adalah standard yang dimiliki pekerja Freeport dari Indonesia sama dengan seluruh karyawan Freeport yang ada di seluruh dunia akan tetapi gaji yang diterima oleh pekerja dari Indonesia hanya separuhnya yang berakibat karyawan PT Freeport menjalankan aksi mogok kerja dengan menuntut agar gaji mereka segera dinaikan sebanyak 4 dolar AS per-jam.

   Tetapi sampai sekarang pengajuan kenaikan gaji tidak juga disepakati oleh pihak management Freeport , padahal mereka hanya menuntut hak-haknya sebagai warga negara untuk mendapatkan kesejahteraan. Dan juga rakyat Papua secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum membutuhkan dana yang besar untuk mengejar ketertinggalan dalam membangun manusia maupun fasilitas yang diperlukan untuk pelayanan sosial dan kemajuan ekonomi.

      Disisi lain, kemiskinan makin merajalela di bumi Papua khususnya di daerah Timika . Penduduk kabupaten Timika, lokasi dimana PT Freeport berada, terdiri atas 35% penduduk asli dan sisanya adalah pendatang.  Kesejahteraan tidak ikut naik dengan kehadiran PT Freeport diwilayah mereka . Sebagian besar dari mereka berada dibawah garis kemiskinan dan mereka terpaksa mengais emas yang tersisa dari limbah PT Freeport. Akan tetapi pemerintah terkesan “buta” dengan kondisi yang sangat menyayat hati ini yang terjadi di Papua khususnya di daerah Timika.

    Pada tahun 2005 terlihat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua menempati peringkat ke 3 dari 30 provinsi di Indonesia. Namun, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua, yang diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena masalah-masalah kekurangan gizi, berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport.
  PT Freeport telah mendapatkan keuntungan yang melimpah dari sumberdaya mineral di Papua. Keuntungan tersebut telah mengubah PT Freeport dari perusahaan yang tidak dikenal menjadi perusahaan tambang raksasa di dunia dalam waktu singkat namun patut dicurigai perubahaan menjadi perusahaan besar itu diperoleh dari berbagai tindakan amoral seperti penyelewengan, manipulasi, dugaan KKN, tekanan politik dan jauh dari kaidah bisnis dan pola hubungan bisnis yang sehat. Menghadapi kondisi seperti ini pemerintah seharusnya tidak hanya “diam” dan “buta” . Harus ada langkah yang konkret dari pemerintah untuk menggunakan posisi tawar yang tinggi untuk mendapatkan hasil eksploitasi sumberdaya yang optimal bukan hanya sebagai pemilik lahan. Pemerintah  juga harus mengambil langkah yang tegas atas tindakan PT Freeport yang melanggar Undang-undang (UU), yang di dasari oleh UU yang sudah ada seperti Undang-undang tentang Lingkungan Hidup, Undang-undang Kehutanan dan Perpajakan, Undang-undang tentang Kekayaan Alam, dan Undang-undang Hak Asasi Manusia.

    Krisis sumber energi yang selama ini marak menjadi pemberitaan media sebenarnya bukan karena cadangan sumber energi Indonesia yang tidak mencukupi, akan tetapi karena pengelolaan energi nasonal yang kurang baik karena sumber daya yang ada justru dijual kepada pihak asing secara masif. Beberapa masalah yang terkait dengan eksploitasi sumber daya alam/energi di Indonesia antara lain adalah :

  • Sebanyak 85% kekayaan migas, 75% kekayaan batubara serta 50% lebih kekayaan perkebunan dan hutan dikuasai modal asing. Hasilnya 90% dikirim dan dinikmati oleh negara-negara maju sementara Indonesia sebagai pemilik SDA hanya mendapatkan bagian yang sedikit.Penerimaan negara dari mineral dan batubara hanya 3 persen (sekitar 21 trilyun Rupiah pada tahun 2006). Padahal dampak kerusakan lingkungan yang terjadi lebih besar dari nominal tersebut.
  • Kebijakan terkait sumber daya alam yang dibuat oleh pemerintah tidak lagi sesuai dengan amanat UUD 1945 dan cita-cita proklamasi bangsa. Hasil sumber daya negara dijual murah ke pihak asing dengan alasan harga komoditas dianggap sedang melejit di pasar global tanpa mempedulikan kebutuhan ketahanan energi dalam negeri. Bahkan semakin ironis karena di dalam negeri rakyat justru mengalami kelangkaan energi. Misal contoh kasusnya adalah DPR RI Komisi VII yang memuluskan kegiatan Hulu dan hilir dalam pengelolaan Migas yang jelas-jelas menyalahi undang-undang yang berlaku di Indonesia.
  • Pemerintah terlalu mengistimewakan investor maupun pengusaha asing. Terbukti melalui UU Penanaman Modal Asing (PMA) dimana para kapitalis asing dapat mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia hingga 95-100 tahun lamanya. Padahal ketika awal berdirinya bangsa ini, pihak asing hanya boleh mengelola SDA Indonesia tidak lebih dari 35 tahun. Tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar, atau yang biasa dikenal dengan CSR, juga belum jelas. Apabila ada, biaya CSR yang dikeluarkan juga sangat kecil hanya sekitar 2% dari seluruh profit yang didapat.
  • Sistem kontrak kerja pemerintah dan pengusaha asing disinyalir terjadi penyelewengan terkait masalah cost recovery (pengembalian seluruh biaya operasi para kontraktor migas yang sebagiannya merupakan perusahaan asing). Banyak pengeluaran yang tak terkait langsung dengan biaya produksi migas yang menjadi tanggung jawab pengusaha kontraktor migas justru dibebankan kepada pemerintah. Hal tersebut terjadi karena adanya keterlibatan oknum pejabat pemerintah yang berkolaborasi dengan para pemain asing.
  • UU No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara belum efisien dan banyak perusahaan asing menolak mengikuti peraturan tersebut karena Sebanyak 85% kekayaan migas, 75% kekayaan batubara, 50% lebih kekayaan perkebunan dan hutan dikuasai modal asing. Hasilnya 90% dikirim dan dinikmati oleh negara-negara maju. dianggap merugikan, misal pertambangan besar seperti PT Freeport Indonesia, Papua dan PT. Newmont Nusa Tenggara perusahaan ini selalu berpegang pada Kontrak Karya yang dibuat pada era orde baru dan tentunya lebih menguntungkan perusahan di bandingkan harus mengikuti Undang – Undang Minerba yang mengharuskan perusahan membayar sekitar 10% keuntungan Bersih seperti yang tertuang dalam pasal 129.
Sesuai dengan tujuan pembangunan Indonesia, yaitu mewujudkan pembangunan berkelanjutan dimana salah satunya menjaga pemanfaatan SDA agar dapat berkelanjutan maka tindakan eksploitasi alam harus disertai dengan tindakan perlindungan. Selain itu, pengelolaan SDA juga harus terpadu dengan memperhatikan beberapa tahapan utama, seperti pemetaan penyebaran, kebutuhan dan konsumsi energi per wilayah secara komprehensif dengan prinsip keterbukaan / transparansi dan akses yang seluasnya terhadap masyarakat. Pemeliharaan dan pengembangan lingkungan hidup harus dilakukan dengan cara yang rasional antara lain dengan memanfaatkan SDA dengan hati-hati dan efisien, menggunakan bahan pengganti, misalnya hasil metalurgi (campuran), mengembangkan metoda penambangan, pemrosesan hasil tambang serta pendaur-ulangan secara efisien serta melaksanakan etika lingkungan berdasarkan falsafah hidup secara damai dengan alam.

  Kemudian untuk menanggulangi eksploitasi SDA oleh pihak asing maka diperlukan peran penting pemerintah sebagai pembuat kebijakan agar dapat membuat kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat. Berikut beberapa cara untuk menanggulangi SDA yang dikuasai oleh asing :
1. Memberdayakan SDM Indonesia yang banyak dengan pendidikan yang bermacam-macam.
2. Menasionalisasi perusahaan asing yang ada di Indonesia
3. Memakai teknologi buatan dalam negeri untuk eksplorasi sumber daya alam
4. Mengenakan pajak yang tinggi untuk perusahaan asing yang mengeksploitasi SDA Indonesia
5. Membuat perjanjian royalti yang sama-sama menguntungkan kedua pihak dan perjanjian bagi perusahaan asing untuk menyejahterakan masyarakat di sekitar daerah eksplorasi mereka

SUMBER :
http://akbar14aria.blogspot.co.id/2015/03/opini-tentang-freeport.html?m=1
http://fosavalentina.blogspot.co.id/2014/05/eksploitasi-sumber-daya-alam-indonesia.html?m=1
http://www.fkdpm.org
http://www.ratnasarumpaet.com
http://www.change.org



No comments:

Post a Comment